BukuCerita Rakyat Kulisusu ini merupakan hasil pemetaan sastra Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara yang diperoleh secara lisan dari penutur cerita Kulisusu. Isi buku Cerita Rakyat Kulisusu ini disajikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Kulisusu dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, keaslian cerita masih tetap dapat terjaga dan mudah dipahami karena telah diterjemahkan ke dalam bahasa Kisah"Putri Lungo", salah satu cerita Suku Moronene yang tinggal dari Pulau Kabaena, Provinsi Sulawesi Tenggara diceritakan oleh Ilfan Nurdin, S.Ag., Mokole Kabaenayang sekarang tinggal di Pulau Kabaena. Cerita ini sengaja disusun sebagai bahan bacaan bagi siapa saja yang memerlukan bacaan Sekapur Sirih Seluruhkeluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka. disadur dari : Effendy, Tennas. 2006. Vay Tiền Nhanh. Tidak banyak cerita rakyat dari Maluku yang Kakak miliki, hanya beberapa kisah dari sekian banyak koleksi cerita rakyat Nusantara di blog ini berasal dari Maluku. Salah satu dongeng yang berasal dari Maluku adalah cerita Air Mata Menjadi Telaga yang merupakan asal muasal Telaga Biru di Dusun Lisawa. Karena cerita rakyat ini sangat pendek Kakak tambahkan satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yaitu kisah balas dendam penjaga gunung, mudah-mudahan kalian suka dengan kedua dongeng anak ini. Selamat membaca. Cerita Rakyat dari Maluku Legenda Air Mata Menjadi Telaga Dahulu kala, ada sepasang muda-mudi bernama Majojaru dan Magohiduru yang sedang menjalin kasih. Suatu hari, Magohiduuru berpamitan kepada orangtua dan kekasihnya untuk pergi merantau. Sebelum pergi, Majojaru dan Magohiduuru mengikat janji untuk sehidup semati selamanya. Sekian bulan berlalu, terdengar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Magohiduuru tenggelam di laut luas dan pemuda itu meninggal dunia. Kabar ini membuat hati Majojaru hancur. Dengan perasaan yang sangat sedih, gadis itu pergi dari rumah untuk menangkan diri. Lalu, ia berhenti di bawah sebuah pohon beringin dan duduk menangis di satu. Air matanya mengalir deras, sehingga menggenang dan menenggelamkan batu-batuan tajam yang ada di sekitar pohon beringin. Gadis itu pun tenggelam oleh air matanya sendiri. Akibatnya, terjadilah sebuah telaga. Airnya sangat bening dan indah. Penduduk menamakan telaga tersebut Telaga Biru. Pemuda dan pernudi di sana sering kali datang ke Telaga Biru untuk saling mengikat janji. Telaga Biru terletak di Dusun Lisawa, Maluku. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Maluku Asal Usul Telaga Biru adalah dalam menghadapi segala masalah, kita harus tegar dan tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu Di Sulawesi Tenggara terdapat dua buah gunung yang letaknya saling berjauhan. Nama gunung tersebut adalah Gunung Kamonsope dan Gunung Mata Air. Penunggu Gunung Kamonsope adalah seorang perempuan yang cantik. Sementara itu, penunggu Gunung Mata Air adalah seorang laki-laki bertubuh gendut. cerita rakyat dari maluku dan Dongeng Anak Sulawesi Tenggara Suatu saat, kemarau melanda daerah ini. Di mana-mana terjadi kekeringan. Namun, wilayah Gunung Kamonsope memiliki persediaan air yang sangat banyak, sehingga tidak mengalami kekeringan. Pengairan sawah tetap terjaga baik dan kebutuhan masyarakat juga terpenuhi. Berbeda dengan Gunung Mata Air. Meskipun namanya Mata Air, wilayah ini mengalami kekeringan yang sangat parah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi penduduk saja sulit. Hal ini membuat penunggu Gunung Mata Air gundah. Lalu, ia berniat untuk meminta pertolongan kepada penunggu Gunung Kamonsope. Ia mendatangi penunggu Gunung Kamonsope. “Bisakah aku meminta airmu untuk mengairi wilayahku?” kata penunggu Gunung Mata Air dengan santun. “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Aku juga memeriukan air untuk wilayahku;” kata penunggu Gunung Kamonsope. Penunggu Gunung Mata Air merasa kecewa. Berkali-kali, ia mengulangi permohonannya, tetapi tetap saja tidak dikabulkan oleh penunggu Gunung Makonsope. Laki-laki itu pulang dengan perasaan marah. Ia merasa dilecehkan oleh perempuan penunggu Gunung Kamonsope. Laki-laki itu pun berniat menyerang Gunung Kamonsope menggunakan meriam. Tembakan pertama meleset, begitu juga tembakan kedua dan tembakan ketiga. Sama sekali tidak mengenai Gunung Kamonsope. Menyadari wilayahnya diserang, penunggu Gunung Kamonsope berniat membalasnya menggunakan meriam yang lebih besar. Sekali tembak saja meriam tersebut sudah mengenai puncak Gunung Mata Air sehingga pecah menjadi berbentuk kapak. Semenjak saat itu, Gunung Mata Air diganti namanya menjadi Saba Mpolulu. Saba artinya terkoyak, hilang sebagian. Sementara itu, Mpolulu artinya kapak. Pesan moral dari Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu adalah selesaikan masalahmu dengan musyawarah, menyelesaikan masalah dnegan kekerasan bisa berakibat kehancuran. Ikuti kisah cerita rakyat terbaik lainnya yang kami miliki pada artikel kami berikut ini Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Langsung ke konten Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur Beranda Daftar Isi Hubungi Kami Tentang Kami Dongeng Dunia Fabel Cerita Anak Legenda Cerita Rakyat Nusantara Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda 18 Maret 2016 dongeng cerita rakyat Apakah kalian tahu burung Garuda yang menjadi lambang negara kita? Konon burung Garuda sangat besar dan kuat. Cerita Rakyat dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Kisah La Sirimbone 17 Juli 2015 dongeng cerita rakyat Tinggalkan komentar Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Kebijakan Privasi Hak cipta © 2023 Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur — Tema WordPress Ascension oleh GoDaddy Sulawesi Tenggara - Indonesia Rating 25 pemilih Gunung Mekongga memiliki ketinggian m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini. * * * Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume kini bernama negeri Kolaka dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis. Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya. Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba kini bernama Belandete ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. ”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul. ”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan. ”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh bambu yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi. Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda. Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka. ”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan. Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu. Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu. ”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu. Tasahea menombak burung garuda Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan. Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. ”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan. ”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh. ”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka. ”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi. Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. ”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi. Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut. Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda. Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotuo”. * * * Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu yang berpikiran jauh,ditimpa musibah pantang mengeluh yang berpikiran jauh,tahu mencari tempat berteduh Samsuni /sas/97/09-08 Sumber Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta - 29k, diakses tanggal 3 September Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Kredit foto Dibaca kali Hak Cipta Telah Didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonseia Copyrights by Dilarang keras mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan cerita-cerita di website ini tanpa seizin penulis dan Silahkan memberikan rating anda terhadap cerita ini. Komentar untuk "" Berikan Komentar Anda

cerita rakyat dari sulawesi tenggara